MEMPERTIMBANGKAN TARJUMAN AL-MUSTAFID (Telaah atas Kemurnian Tafsir Karya Abd. Rauf Sinkel)

A. Pendahuluan

Kajian tentang tafsir Indonesia[1] umumnya masih memusatkan perhatian pada karya-karya yang muncul abad 19 ke atas. Sebut misalnya yang dilakukan Howard M. Federspiel[2] atau M. Yunan Yusuf[3] atau yang lain. Agak jarang- untuk mengatakan tidak ada sama sekali bahasan serius atas tafsir-tafsir pada abad sebelumnya.

Tafsir memegang peran penting dalam kajian Islam. la merupakan salah satu cabang penting dalam pemahaman ajarannya. Jika penyebaran Islam di duga sudah mulai menyentuh wilayah nusantara sejak abad 13,[4] maka kenyataan di atas cukup memprihatinkan. Sebab hal demikian akan menimbulkan persepsi tidak menguntungkan bagi sejarah intelektual umat Islam di Indonesia. Padahal, dalam sejarahnya, dinamika intelektual umat Islam sebelum abad 19 memiliki intensitas yang cukup tinggi,

Khusus mengenai tafsir, wilayah mi tampaknya tidak mencatat perkembangan pesat. Berbeda dengan disiplin lain seperti tasawuf, fiqih atau filsafat. Namun tidak berarti tradisi penafsiran sama sekali tidak berkembang. A.H. Johns,[5] dalam penelusurannya menyebutkan bahwa aktifitas penafsiran di wilayah ini sudah berlangsung -sedikitnya- sejak abad 16. Gejala ini tampak dari beberapa karya tulis yang dihasilkan dan ditemukan pada periode itu. Karya-karya Hamzah Fansuri atau Syams al-Din al-Sumatrani, misalnya, meskipun tidak secara tegas dapat disebut karya tafsir, namun sudah dapat dijadikan indikasi sudah terbangunnya tradisi tafsir kala itu. Ha] ini didukung oleh pandangan Braginsky yang menulis:

“Bagaimanapun, dalam pengertiannya yang luas, semua karangan mistik-keagamaan itu merupakan tafsir sui generic terhadap teks-teks kanon keagamaan, yang dari sudut pandangan Islam meliputi pelimpahan wahyu.”[6]

Hingga akhir abad 16, tidak ditemukan karya tafsir secara utuh, kecuali sebuah frogmen tafsir. Saat ini manuskripnya tersimpan di perpustakaan Universitas Cambridge. Manuskrip itu milik Arabist Belanda, Erpenus (1624) yang diduga dibawanya pulang dari Aceh. Tidak ada nama pengarang yang dapat diidentifikasi darinya, namun hamper bisa dipastikan Manuskrip tersebut merupakan terjemahan bebas dari tafsir al-Khazin (w. 741/1340).

Baru pada abad berikutnya, sebuah karya tafsir lengkap muncul Karya ini ditulis Abd. Rauf Sinkel dan diberi nama Tarjuman al-Mustafid dalam bahasa Melayu. Sementara makalah ini akan difokuskan pada pokok-pokok persoalan yaitu pertama, mencari kemurnian (orisinalitas) karya tafsir ini, karena diindikasikan tafsir ini merupakan karya terjemahan dari tafsir Anwar al-Tanzil karya al-Baidlawi  kedua, bagaimana karakteristik tafsir Tarjuman al-Mustafid, dan ketiga, apakah dalam Tarjuman al-Mustafid terdapat perhatian khusus akan kebutuhan masyarakat waktu itu?

B. Abd. Rauf Sinkel dan Tafsir Tarjuman al-Mustafid

1. Mengenal Abd. Rauf Sinkel

Nama lengkapnya adalah Abd. Rauf bin all al-Jawi al-Fansuri. Seperti tercermin dalam namanya, ia adalah orang Melayu dari Fansur, Sinkel, di wilayah pantai barat laut Aceh.

Latar belakang keluarganya secara pasti tidak diketahui. Hasjmi menyebut nenek moyang Abd. Rauf berasal dari Persia yang datang ke kesultanan Samudra Pasai pada akhir abad ke 13. mereka kemudian menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua di pantai Sumatra Barat. Pendapat lain menyebut keluarga ini bersilsilah ke Arab. Syaikh Ali (ayah Abd Rauf diperkirakan berasal dari Arab yang kemudian kawin dengan seorang wanita pribumi, dan selanjutnya mereka tinggal di Sinkel.[7]

Menyangkut garis keturunannya, sejarah penanggalan kelahiran Abd. Rauf pun tidak dapat ditemukan kepastiannya. Voerhoove menyebut tahun 1620,[8] dan ada yang menyebut 100 H/1593.[9]

Adapun latar belakang atau sejarah intelektual Abd. Rauf juga bermula dari desa kelahirannya sendiri, yaitu Sinkel. Dalam catatan Hasjmi, ayah Abd Rauf adalah seorang alim yang mendirikan sebuah madrasah yang didatangi murid-murid dari berbagai tempat di kesultanan Aceh. Kemudian melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Arabia pada sekitar 1052/1642.

Dalam petualangannya ini Abd. Rauf telah berhasil menjalin hubungan selama 19 tahun dengan para ulama besar yang dari mereka dia mempelajari berbagai cabang ilmu agama (tafsir, hadis, fiqih, tasawuf tauhid dan akhlak). Namun demikian, beberapa penulis mencatat, pengaruh paling besar dalam membentuk pola pikir dan pola sikap Abd. Rauf berasal dari gurunya di Madinah. Al-Kusyasyi dan al-Kurani Dari al-Kusyasyi Abd Rauf mempelajari apa yang disebutnya sebagai ilmu dalam (bahin) seperti tasawuf dan ilmu-ilmu terkait lainnya, hingga akhimya ia ditunjuk sebagai imam tarikat Syattariyah dan Qadiriyah. Dari al-Kurani ia mendapat gemblengan pengetahuan di luar disiplin-disiplin pengetahuan tasawuf. Setelah mengenyam pendidikan selama sekitar 19 tahun Abd Rauf kembali ke Aceh pada sekitar tahun 1661.

Adapun karya-karya yang dihasilkan Abd. Rauf tidak terbatas pada satu bidang, sebagian ahli mengatakan karya Abd. Rauf 21 buah. Satu berbentuk  tafsir, 2 kitab hadis, 3 buah berupa kitab fiqih, dan 15 sisanya merupakan kitab tasawuf.[10]

2. Sejarah Penulisan Tarjuman al-Mustafid

Salah satu potret kehidupan pada periode kepemimpinan para ratu dimana Abd Rauf mengabdikan kariernya adalah makin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan budaya. Terutama pada masa ratu Safiatuddin, banyak karya tulis dihasilkan dengan atau tanpa permintaan ratu.

Karyanya yang secara tegas dinyatakan sebagj peanan sultanah adalah Mir’at al-Thullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam yang dimaksudkan agar menjadi panduan, pedoman bag) para qadhi (hakim) dalam menjalankan tugasnya Adapun karya tafsimya Tarjuman al-Mustafid sampai saat ini dianggap sebagai tafsir lengkap pertama dalam bahasa Melayu yang ada. Tafsir ini, menurut Hasjmi, disusun pada masa pemerintahan Safiatuddin.[11] Persoalannya adalah apakah proses penyusunannya merupakan permintan sultanah ataukah atas inisiatif Abd. Raufl sendiri?

Berbeda dengan Mir’at al-Thullab fi Tashil Ma’rifat af-Ahkamnya, tafsir ini memulai pembahasannya langsung dengan surat al-Fatihah. Tidak ada pendahuluan atau keterangan lainnya yang dapat dijadikan informasi, misalnya tentang kapan, dimana, berapa waktu yang dibutuhkan dsb. Baik dari Abd. Rauf sendiri maupun dari pihak lainnya. Riddell menduga penulisan tafsir ini dilakukan pada tahun 1675 berdasarkan hasil temuannya atas kopi tertua manuskrip tafsir ini yang diperkirakan tahunnya lebih dekat kepada saat kembalinya dari Arab dari pada saat meninggalnya.[12] Dalam edisi yang dipakai sebagai sumber penelitian ini, terdapat kolofon yang tertulis:

“Dan telah sempurnalah tafsir al-Qur’an yang amat mulia yang dinamai Tarjuman al-Mustafid yang di jamikan oleh syaikh kita dan ikutan kita kepada Allah Ta’ala, yang alim allamah lagi waliyullah yang fanni fillah Ta’ala, Aminuddin Abdurrauf anak Ali Jawi lagi Fansuri yang dikasihi Allah Ta’ala jua kiranya akan dia dan diterima-Nya dan diberi Allah Ta’ala manfaat jua kiranya akan kita dengan berkat ilmunya di dalam dunia dan dalam akhirat, perkenankan olehmu hai Tuhanku….”

“Dan menambahi atasnya oleh sekecil-kecil muridnya dan sehina-hinanya khadimnya itu yaitu Daud Jawi anak Ismail anak Agha Mustafa All Rumi diampuni Allah Ta’ala jua kiranya sekalian mereka itu akan kisahnya yang diambil kebaikannya dari pada al-Khazin dan setengah riwayatnya pada khilaf qiraah dengan suratnya….”[13]

Selain tentang empat hal, kolofon di atas tidak memberi petunjuk informasi mengenai penanggalan dan juga atas dorongan apa atau oleh siapa usaha penyusunan tafsir dilakukan. Empat hal dimaksud adalah penegasan bahwa penulisan tafsir ini dilakukan oleh Abd Rauf. Tarjuman al-Mustafid, sebagai nama yang dipakai sejak awal, sebagian sumber tafsir dan tentang peran Daud Rumi dalam penulisan tafsir

Benar bahwa tafsir ini disusun Abd. Rauf, tapi bentuk akhir kitab ini sebagaimana beredar hingga saat ini tidak lepas dari keterlibatan Daud Rumi. Akibat keterlibatan ini, menurut Riddell, meninggalkan pengaruh terhadap perubahan sifat, karakter dan watak tafsir.[14]

Bila ditelaah dari sudut kepentingan tampaknya inisiatif penyusunan tafsir dari Abd. Rauf sendiri. Alasannya, beberapa kitab “pesanan” sultanah umumnya bersifat “praktis”. Misalnya Mir’at al-ThulIab fi Tashil Ma’rifat  al-Ahkam, Kifayat al-Muhtadin atau Hidayat at-Imam, yang dalam batas-batas tertentu, agaknya memang digunakan untuk merespon kebutuhan-kebutuhan dan kecenderungan yang sedang menggejala waktu itu.

Statemen di atas, sama sekali tidak dimaksudkan bahwa tafsir al-Qur’an bukan kebutuhan praktis yang mendesak waktu itu. Persengketaan agama yang terjadi saat itu bukan tidak mungkin bersumber dari penafsiran terhadap ayat al-Qur’an. Namun menghubungkan proses penyusunan tafsir ini dengan permintaan sultanah memiliki beberapa keberatan. Pertama, ratu Safiatuddin tidak memiliki tingkat pengetahuan agama yang mendalam.[15] Kedua, tradisi yang berkembang tentang pengajaran al-Qur’an umumnya terbatas pada studi baca al-Qur’an.[16] Al-Qur’an sangat jarang dipelajari secara langsung, tapi dalam bentuk yang sudah “diolah” dalam karya-karya skolastik mengenai fiqih atau akidah.[17] Tafsir merupakan disiplin cabang khusus. Meskipun ada seorang guru yang menguasai hal itu, namun umumnya jarang terpikir untuk mempelajari hal tersebut sebelum menguasai pikah (fiqih) dan Usay (ushul fiqih).[18]

Hal ini diperkuat oleh kajian R. Roolvink,[19] literatur Indonesia sejak masa yang awal dapat diklasifikasikan menjadi 5: pertama, cerita-cerita yang diambil dari Quran (Kuranic’s tales) atau cerita tentang nabi dan person lain yang namanya disebut dalam al-Qur’an, contoh karya ini seperti Hikayat anbiya’, seperti cerita nabi Yusuf, nabi Musa, dsb. Kedua,  cerita khusus tentang nabi Muhammad. Ketiga, cerita tentang orang-orang yang hidup se-zaman dengan nabi (sahabat atau lainnya). Keempat, cerita tentang pahlawan-pahlawan (dalam dunia) Islam yang terkenal, seperti Iskandar Zulkarnain dsb. Kelima, karya-karya yang berkaitan dengan masalah teologi. Bidang ini, menurut Roolvink, umumnya berkaitan dengan pengetahuan yang disebut tiga pilar ajaran Islam yaitu, ilmu kalam, ilmu fiqih, ilmu tasawuf. Bentuk tafsir yang utuh hampir tidak dijumpai dalam kategori ini.

Dari daftar tersebut, lebih dapat diterima bila dikatakan penyusunan tafsir ini lebih berkaitan dengan inisiatif dan usaha Abd. Rauf sendiri dan bukan atas permintaan sultanah Safiatuddin. Karena  (sebagai seorang pendidik) Abd Rauf ingin mengajarkan ajaran-ajaran al-Qur’an (: Islam) kepada masyarakat.

3. Karakteristik Tafsir Tarjuman al-Mustafid

Pembahasan tentang karakteristik sebuah tafsir, menurut Yunan Yusuf,[20] dapat dilakukan dengan mengidentifikasi metode penafsiran, tehnik penafsiran dan corak tafsir. Pada metode penafsiran, telaah ditekankan pada penggalian mengenai cara seorang mufassir memberikan tafsirnya; apakah ia menafsirkan Qur’an dengan al-Qur’an, dengan hadis, dengan riwayat sahabat, dengan kisah-kisah israiliyat atau dengan ra’yu (pendapat personal). Pada tehnik penafsiran diarahkan pada prosedur penafsiran; apakah penafsiran mengikuti pola tafshili (Mushafi, analitis atau Ijmali (global), atau maudhu’l (tematis). Sedang pada corak penafsiran, pemeriksaan yang dimaksud untuk melihat corak pemikiran teologi yang mempengaruhi mufassir, dilakukan dengan melihat penafsirannya pada ayat-ayat yang tergolong mutasyabbihat.

Untuk melihat lebih jelas karakteristik dalam tafsir ini, berikut ini kutipan dari surat al-Ikhlas. Pemilihan surat ini semata karena alasan tehnis. Selain karena surat ini terhitung pendek dan tidak memiliki “kelainan” bentuk maupun pola (dalam penerjemahannya) dengan surat atau ayat lain dalam tafsir ini, pemilihan ini juga dimaksudkan agar tidak terjadi keterputusan dengan pembahasan sebelum dan selanjutnya.

“Ini surat al-Ikhlas turunnya di Makkah atau Madinah dan ia itu empat atau lima ayat. Maka tersebut dalam aJ-Baidhawi hadis bahwasannya ia mendengar seorang laki-laki mengaji dia maka sabdanya “wajabat” , maka dekat (berkata?) orang “apa arti “wajabat” ya rasuhillah? Maka sabdanya “wajabat lahu al-jannah” artinya wajiblah baginya surga.

“Kata olehmu Ya Muhammad pekerjaan itu ia jua tuhan yang esa. Allah Ta’ala jua yang dimaksud dari pada segala hajat. Tiada ia beranak dan tiada diperanakkan. Dan tiada baginya sekutu dengan seorang juapun. (kata) ahli tafsir, tersebut di dalam al-Khazin bahwasanya segala musyrik itu telah berkata mereka itu bag! rasul Allah s.a.w.: sebut olehmu bagi kamu bangsa Tuhanmu, maka turun firman Allah Ta’ala “Qul huwa Allahu Ahad”. Kepada akhimya (Bayan) Ikhtilaf antara segala qari’ yang tiga pada membaca kufiiwan. Maka Nafi’ dan Abu ‘amr membaca dia kufua dengan hamzah, dan Hafsah membaca dia kufuwa dengan wawu. Wa allahu a’lam [21]

Melalui kutipan diatas, dapat diketahui karakteristik yang dimiliki tafsir Tarjuman al-Mustafid. Dari segi metode dan tehnik penafsiran, Abd. Rauf tampaknya hanya menerjemahkan secara harfiah ayat-ayat al-Qur’an. Tidak ada usahanya untuk menjelaskan kandungan ayat yang sedang diterjemahkan dengan memakai ayat-ayat lain yang seide Tidak juga dengan hadis nabi, riwayat sahabat, apalagi dengan kisah israiliyyat.

Ada tiga variable lain yang secara rutin disertakan dalam tafsir ini di luar penjelasan terjemah harfiah. Pertama, keterangan tentang asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya) ayat -kalau memang ada, yang biasanya dimasukkan dalam bagian “kata mufassir” atau “kisah”. Untuk surat al-Ikhlas istilah yang dipakai adalah “kata mufasir”. Kedua, penjelasan tentang ragam bacaan (qiraah) yang biasanya dimasukkan dalam bagian “bayan” atau “faidah”. Penjelasan terakhir tentang guna atau manfaat atau fadhilah ayat atau surat jika di baca. Bagian ini biasanya diletakkan pada pembuka surat, menyertai penjelasan mengenai status surat (Makkiyah atau Madaniyyah).

Corak pemikiran tafsir dapat dilihat dari penjelasan Abd. Rauf terhadap ayat-ayat antropomorfis berikut. Kasus yang diangkat pada contoh berikut berkaitan dengan ayat yang terdapat kata yad yang secara literal berarti tangan, namun dalam komposisinya dengan Allah.

Dari penelusuran yang dilakukan, diperoleh gambaran bahwa Abd. Rauf memakai tiga pola dalam menjelaskan ayat-ayat mutasyabihat tersebut.

Pada satu kasus Abd. Rauf memakai makna asli (tasybih). Misalnya pada:

“Tangan Allah di atas tangan mereka itu….” (Q.S. al-Fath (48): 10)[22]

“Tangan allah tergenggam daripada melimpahkan rizki atas kita” (Q.S. al-Maidah (5): 64)[23]

Dan pada kasus lain ia memberi tafsiran terhadap kata-kata tersebut, seperti pada:

“Telah suci daripada segala sifat muhdas Tuhan yang pada tasarrufya jua sultan dan kudrat dan Ia itu atas tiap-tiap suatu amat kuasa….”(Q.S. al-Mulk (67) : I).[24]

Namun dalam kasus yang lain ia melakukan kombinasi kedua pola diatas. Artinya Abd. Rauf menggabungkan terjemah harfiah dengan takwil. Seperti pada kutipan-kutipan berikut:

“Kata olehmu ya Muhammad bahwasanya nugera itu pada tangan kudrat Allah.-.” (Q.S. Ali Imran(3):73).[25]

“kata olehmu siapa jua yang pada tangan kodratnya milik tiap-tiap suatu…” (Q.S. al-Mukminun(23):88).[26]

“Maka maha suci Tuhan yang pada tangan kodratnya jua memilikkan tiap-tiap suatu dan padanya jua ditolakkan sekalian itu…,”(Q.S. Yasin(23): S3).[27]

Dengan memperhatikan kutipan di atas, pembagian Yunan Yusuf atas dua kategori pemikiran teologi: teologi tradisional (dicirikan oleh sikap tidak menafsirkan ayat-ayat demikian) dan teologi liberal (dicirikan penafsirannya terhadap ayat demikian), terasa tidak muat untuk menempatkan posisi Abd Rauf. Kesemua ciri itu ada pada pola penerjemahan Tarjuman al-Mustafid.

Pola demikian dapat ditemukan dalam tradisi pemikiran sufi. Para sufi umumnya tidak menempatkan dirinya pada salah satu dari dua ekstrim ketika berhadapan dengan ayat-ayat antropomorfis. Mereka menerima konsep tanzih sekaligus tasybih Tuhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kecenderungan tafsir ini terletak pada titik ambang antara teologi tradisional dan liberal yang direpresentasikan oleh pemikiran sufi.

4. Sumber Tafsir Tarjuman al-Mustafid

Keberadaan tafsir Tarjuman al-Mustafid ini tergolong kontroversial, terutama menyangkut sumbernya. Penilaian umum yang sudah sejak lama berkembang (selalu) menghubungkan karya ini dengan karya al-Baidlawi atau menegaskan bahwa Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemahan dari Anwar al-Tanzilnya Baidlawi. Pernyataan ini diterima oleh para sarjana Islam di Makkah, Eropa, dan Asia Tenggara.

Pangkal anggapan ini, menurut penelitian Riddell, berasal dari edisi cetakan pertama yang beredar di Istanbul pada 1884. pada halaman judul,  redaktur memuat pemyataan:

“….Inilah kitab yang bernama Tarjuman at-Mustafid bi al-Jawi yang diterjemahkan dengan bahasa Jawi yang diambil setengah maknanya dari tafsir al-Baidlawi”

Penyebutan poin bahwa tafsir al-Baidlawi merupakan sebagian sumber dari Tarjuman al-Mustafid inilah yang lantas disalahtafsirkan, dan Riddell menduga, Snouck Hurgronje-lah penyebar kesalahan ini. Snouck memiliki satu edisi Istanbul di perpustakaan pribadinya-yang kemudian diwariskan ke perpustakaan Leiden. Keterangan yang masuk akal, menurut Riddell, adalah Snouck Hurgronje menyaring inti isi halaman-halaman Tarjuman al-Mustafid, melihat rujukan tafsir secara sekilas, kemudian menyimpulkan:

“Karya besar lain dari Abd.  Rauf ialah terjemah tafsir al-Qur’an oleh Baidlawi dalam bahasa Melayu [28]

Kesimpulan Snouck Hurgronje ini selanjutnya dijadikan pijakan oleh para sarjana Eropa maupun Asia Tenggara dalam merangkaikan Tarjuman al-Mustafid dengan tafsirnya al-Baidlawi. Kesalahan ini kian diperparah oleh Rinkes ketika dia menerangkan bahwa ada tiga karya tentang al-Qur’an yang dikarang Abd. Rauf. [29]

Edisi yang beredar (dan diterbitkan ) di asia Tenggara juga menyertakan keterangan bahwa Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemahan dari al-Baidlawi. Seperti terdapat dalam halaman judul tafsir yang dijadikan referensi kajian ini, tertulis keterangan:

“Al-tarjamah al-jawiyah li al-tafsir al-musamma Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil li al-Imam al-Qadli …al-Baidlawi …[30]

Edisi ini juga terdapat tambahan penjelasan (tepatnya: kesaksian) dari tiga orang sarjana Melayu di Makkah bahwa mereka telah meneliti dan setuju bahwa hasil karya itu merupakan terjemahan dari tafsir al-Baidlawi tanpa penambahan atau pengurangan, dan tanpa perubahan atau penggantian.[31]

Dalam penilaian Riddell, penyandaran tersebut tidak memiliki landasan kuat. Sebaliknya, pemeriksaan yang teliti terhadap ayat demi ayat memberi bukti bahwa karya tersebut merupakan gabungan dari beberapa tafsir Arab. Namun tidak semua sumber disebut, selain al-Khazin dan al-Baidlawi. Tetapi perlu diingat, bentuk final tafsir ini tidak semata dikerjakan oleh Abd. Rauf, ada keterlibatan Daud Rumi dalam proses akhir ini. Keberadaan faedah, juga bagian-bagian yang dinukil dari al-Khazin dan al-Baidlawi tampaknya merupakan tanggung jawab Daud. Jika hal-hal terakhir dianggap sebagai tambahan dan dihilangkan, maka selebihnya (berarti karya Abd. Rauf) merupakan saduran yang kaitannya lebih dekat dengan tafsir Jalalain.

Kedekatan dengan Jalalain, dari perspektif jaringan pemikiran Abd. Rauf lebih dapat diterima dari pada dengan al-Khazin atau al-Baidlawi.[32] Penisbatan dengan al-Baidlawi, bisa jadi disebabkan oleh kegagalan mengenali peran utama tafsir Jalalain (seperti pada Snouck Hurgronje) atau karena unsur kesengajaan karena pertimbangan komersil. Reputasi al-Khazin atau al-Baidlawi lebih tinggi dari pada Jalalain. Lagi pula, menarik dicatat, ada perbedaan model pengiklanan antara abad 20 dengan abad-abad sebelumnya. Jika pada abad 20, suatu karangan memiliki “kekurangan” bila hanya bersifat  terjemahan, maka pada era Abd Rauf sifat orisinal (barangkali) justru akan dirasa sebagai kekurangan.[33] Hal ini, tentu terkait dengan orientasi keagamaan waktu itu yang masih berpusat ke Arab.

5. Bentuk Lokalitas Pemikiran dalam Tarjuman al-Mustafid

Wujud kreatifitas atau individualitas yang telah dilakukan Abd. Rauf dalam karya tafsirnya akan coba penulis upayakan dengan memeriksa terjemahan tafsir Abd. Rauf Sinkel terhadap ayat-ayat tertentu.

Pemilihan terhadap ayat tertentu didasarkan pada peristiwa yang menjadi latar belakang atau yang tengah berlangsung dan diduga merupakan tantangan eksternal dalam proses penyusunan tafsir. Dengan mengacu pada pembahasan sebelumnya, dapat dipetakan menjadi dua pokok persoalan; yaitu persoalan teologis dan persoalan sosial.

Untuk persoalan teologis, kajian ini terutama akan mengambil fokus pada persoalan tauhid. Selain karena keberadaannya sebagai sentral ajaran Islam, penerjemahan lebih lanjut konsep inilah yang ujungnya memunculkan permasalahan seperti wahdat al-wujud yang juga berkembang di Aceh waktu itu

Persoalan sosial terutama yang berhubungan dengan peran public perempuan. Poin ini diangkat karena penguasa (sultan) saat itu adalah seorang perempuan. Posisi itu menjadi tema yang dipandang ganjil dan terus dipermasalahkan tidak saja oleh pemuka agama di wilayah Nusantara tapi juga di beberapa belahan dunia Islam lainnya

a. Tauhid

Tauhid adalah basis pandangan hidup al-Qur’an, ia merupakan pondasi, pusat dan akhir seluruh tradisi Islam. Secara umum tauhid berisi ajaran dan konsepsi-konsepsi tentang Tuhan

Dalam rentang sejarahnya, diskursus tentang tauhid pernah menimbulkan percekcokan dan berbuntut pada gejolak Percekcokan muncul karena disinyalir adanya pemikiran tauhid yang menyimpang sebab mengajarkan konsep inkarnasionisme (hulul) atau unifikasionisme (Ittihad). Pemikiran terakhir diwakili oleh sayap pemikiran dari kalangan sufi.

Di Aceh, gejolak serupa pernah berlangsung. Perselisihan terjadi antara penganut wahdat al- wujud (wujudiyah) dan penentangnya (yang menyebut diri wahdat al-syuhud) yang kemudian berkembang menjadi tragedi berdarah. Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani dikenal sebagai pioner aliran pertama dan Numddin al-Raniri sebagai tokoh kalangan berikutnya.

Dalam konteks inilah penting untuk melihat pemikiran taufaid Abd. Rauf dalam tafsirnya minimal untuk dua alasan. Pertama, posisinya sebagai qadhi malik al-adil yang memiliki kewenangan menjaga stabilitas Negara (kerajaan). Kedua, sebagaimana dikatakan Braginsky, Abd. Rauf adalah penerus paling fasih dalam tradisi pemikiran Hamzah Fansuri (wahdattd wajud),

Kata tauhid tidak terdapat dalam al-Qur’an. Secara etimologis kata ini terambil dari wahhada-yuwahhidu-tauhid. Salah satu surat dalam al-Qur’an yang biasa dipakai sebagai landasan konsep tauhid adalah Q.S. 112. ketika sampai pada bagian ini Abd. Rauf menerjemahkan dengan:

“Kata olehmu ya Muhammad pekerjaan itu ia jua Tuhan yang esa. Allah Ta’ala jua yang dimaksud daripada segala hajat. Tiada ia beranak dan tiada diperanakkan. Dan tiada baginya sekutu dengan seorang pun jua”.[34]

Sekilas penerjemahan Abd. Rauf atas surat tersebut terasa datar. Seperti halnya Jalalain yang selain penjelasan nahwiyah, tidak memberi kupasan apapun. Berbeda dengan al-Khazin yang mencoba membedakan kata ahada dengan wahid.

وقيل لا يوصف احد لأحدية غير الله تعالى…..والفرق بين الواحدوالأحد أن الواحد يدخل فى الأحد, ولا ينعكس, وقيل أن الواحد يستعمل فىالإثبات والأحد فى النفي تقول فى الإثبات رأيت رجلا واحدا, وفى النفي ما رأيت احد فتفيدالعموم وقيل الواحد هوالمنفرد بالذات فلا يضاهيه  احد الأحد هو المنفرد بالمعنى فلايشاركه[35]

Namun bila dicermati, dalam kadar tertentu pembedaan semantik sebagaimana yang dilakukan oleh al-Khazin dilakukan oleh Abd. Rauf Ini terbaca dari penerjemahannya terhadap kata ahada atau kata-kata semakna (wahid wahda) ketika dihubungkan dengan Allah yang secara konsisten diterjemahkan dengan kata esa. Sementara untuk konteks lain Abd. Rauf memakai kata satu. Seperti pada jumlah ayat pada pengantar surat al-Lail tertulis “wa hiya ihda ‘isyruna ayat” yang selanjutnya diterjemahkan menjadi “dan ia itu dua puluh satu ayat”. Ini berarti dua kelas kata tersebut sudah sama-sama dikenal dan berkembang saat itu, namun antara keduanya memiliki struktur batin (untuk meminjam istilah teknis dalam ilmu semantic) yang berbeda. Kata esa sendiri merupakan kosa kata asli yang tumbuh dan berkembang di kawasan Melayu. Mengapa Abd. Rauf tidak memakai atau memilih kata satu atau eka dan memilih esa?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata esa masuk kategori nominal sedangkan satu atau eka tergolong numerical atau numerilia.[36] Ada perbedaan signifikan antara kedua kelas kata tersebut, yang pertama mengekspresikan makna mutlak sementara pada yang kedua terkandung makna relatif.

Pemilihan kata esa oleh Abd Rauf bukan tanpa alasan. Hal itu menunjukkan kehati-hatiannya ketika menjelaskan kata tauhid. Sebelum sampai pada pemilihan kata tersebut, jelas ada proses kreatif yang dilalui Abd. Rauf untuk menemukan bentuk ungkapan dari bahasa local (sasaran) yang representatif dengan pemikiran tauhidnya

Selain menunjukkan sikap hati-hati, definisi tauhid (juga dalam kata esa) di atas memperkuat kecenderungan sufistik dalam pemikiran Abd Rauf. Dalam ranah teologi Islam, secara umum terdapat dua arus umum yang keduanya ingin menunjukkan ketunggalan Allah. Arus pertama diwakili para pemikir dengan penafsiran rasional yang membersihkan corak antropomorfis dalam kaitannya dengan Tuhan. Para filosof kurun awal menempati posisi ini. Arus kedua menerima corak antropomorfis sambil menyertakan dalih seperti dengan menganggap ayat demikian sebagai majaz atau kinayah. Masuk dalam golongan ini adalah pemikir sufi.

Dari pola penerjemahannya terhadap ayat-ayat antropomorfis, Abd. Rauf Sinkel cenderung pada posisi tengah. Sebagaimana penjelasan tentang karakteristik tafsir Tarjuman al-Mustafid di atas. Contoh kata yadd yang memiliki makna dasar tangan. Pada satu bagian Abd. Rauf menerjemahkan secara harfiah (tasybih) kata tersebut, seperti pada:

يدالله فوق ايديهم

“Tangan Allah di atas tangan mereka itu…” (Q.S. al-Fath (48): 10).[37]

pada bagian lain ia memberi tafsiran terhadap kata tersebut:

Ayat…..yadullahi maghlulah

“Tangan Allah tergenggam dari pada melimpahkan rizki atas kita” (Q.S. al-Maidah (5): 64).[38]

dan pada kasus lain ia memberi tafsiran terhadap kata-kata tersebut seperti pada:

Ayat…tabaroka….

“Telah suci dari pada segala sifat muhdas Tuhan yang pada tasarrufnya  jua sultan dan kudrat dan ia itu atas tiap-tiap suatu amat kuasa…” (Q.S. al-Mulk (67): 1).[39]

Namun dalam kasus lain ia melakukan kombinasi kedua pola di atas. Artinya, Abd. Rauf menggabungkan terjemah harfiah dengan ta’wil (tasybih-tanzih). Seperti pada kutipan-kutipan berikut:

Ayat qul inna….

“Kata olehmu ya Muhammad bahwasanya nugera itu ada pada tangan kudrat Allah…”(Q.S. Ali Imran (3): 73).[40]

Ayat min yadihi ….

“Kata olehmu siapa jua yang  pada tangan kodratnya milik tiap-tiap sesuatu…” (Q.S. Al-Mukminun (23): 88)[41]

Ayat Fasubhanalladzi…

“Maka maha suci Tuhan yang pada tangan kodratnya jua memilikkan tiap-tiap satu dan padanya jua ditolakkan sekalian itu…” (Q.S. Yasin (23): 83).[42]

Kreatifitas  atau unsur lokalitas pemikirannya ini agaknya erat kaitannya dengan tuntutan zamannya. Di mana Aceh waktu itu terdapat dua alur pemikiran yang saling berhadapan yang tidak mustahil masih banyak pengikutnya pada masa Abd. Rauf Sinkel. Karena itulah diasumsikan melalui pola penerjemahannya ini hendak mengakomodasi tanpa mereduksi dua alur pemikiran tersebut, bahwa masing-masing pandangan sejalan dengan kitab Allah.

b. Peran Publik Perempuan

Ayat al-Qur’an yang selalu dikutip untuk menjelaskan hubungan atau kedudukan perempuan diantara laki-laki adalah Q.S. al-Nisa (4): 34, berangkat dari kenyataan bahwa penguasa tempat Abd. Rauf mendermakan karir intelektualnya adalah seorang perempuan, dan kenyataan bahwa Abd. Rauf adalah seorang ulama yang memiliki latar belakang pendidikan keagamaan dari jazirah Arabiah yang notabene ortodoks (termasuk dalam memandang peran social perempuan), maka cukup beralasan untuk melihat kreatifitas yang dilakukan dalam proses penafsirannya.

Ketika menerjemahkan ayat ini, Abd. Rauf menulis:

“Bermula segala laki-laki dikeraskan (dikuasakan?) mereka itu atas segala perempuan dengan sebab dilebihkan oleh Allah Ta’ala segala laki-laki itu atas segala perempuan dengan ilmu dan akal dan wilayah dan dengan sebab dibiayakan mereka itu atas segala arta mereka itu…maka segala perempuan yang salih itu berbuat bakti mereka itu akan segala suami mereka itu….[43]

Mencermati kutipan di atas dapat dikenali ke mana dan bagaimana pola pandang yang diikuti Abd. Rauf tentang perempuan. Di sana tampak bahwa Abd. Rauf tetap berpegang teguh pada kecenderungan pemikiran para tradisional. Kecenderungan dimaksud adalah pandangan bahwa laki-laki lebih berkuasa dari perempuan dalam aspek domestik maupun publik. Terbukti dari penafsiran Abd. Rauf tentang factor-faktor yang disebut sebagai nilai lebih laki-laki: ilmu, akal, dan wilayah

Meski tidak ada perincian makna wilayah dalam tafsir tersebut, tapi dalam pengertiannya yang umum, wilayah merujuk pada kawasan non-domestik, seperti kepala pemerintahan, qadli, anggota majlis rakyat atau peran-peran publik lainnya Posisi Safiatuddin sebagai sultan waktu itu dapat dikatagorikan wilayah al-qadla’. Dan sepanjang mengikuti tradisi pemikiran Syafi’iyyah, posisi ini mensyaratkan laki-laki sebagai unsure keabsahannya.[44]

C. Kesimpulan

Dari serangkaian pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  1. lihat sub judul (sumber tafsir). Tentang orisinalitas? atau dengan kontribusi Daud Rumi?
  2. Bahwa tafsir Tarjuman al-Mustafid lahir dalam situasi yang dipenuhi pertentangan paham teologi, antara kelompok penganut wahdat al-wujud dan wujudiyyah. Beliau adalah seorang pejabat istana (Malik al-adil) sekaligus seorang alim yang menguasai berbagai disiplin ilmu yang nota bene saling berhadapan. Meski begitu, indikasi yang mengarah pada kesimpulan bahwa tafsir ini merupakan pesanan penguasa sangat sulit didapatkan. Indikasi yang menonjol justru adalah keinginan penulis untuk berusaha meredam pertentangan dengan cara menerjemahkan sejumlah al-Qur’an secara lengkap.
  3. Upaya penerjemahan seluruh al-Qur’an dapat dipahami sebagai ikhtiar membawa pemahaman al-Qur’an secara utuh. Hal ini penting, karena di duga pertentangan paham yang kala itu terjadi bersumbu dari pemahaman al-qur’an yang bersifat parsial. Mungkin itulah salah satu sebab ia menamai tafsirnya dengan Tarjuman al-Mustafid
  4. Meski secara keseluruhan tafsir ini merupakan terjemah harfiah dari al-Qur’an dan sebagian besar penjelasannya diambil dari Jalalain, namun tidak berarti tafsir ini sama sekali melepaskan dirinya dari persoalan hidup yang berkecamuk dalam masyarakatnya.
  5. Perhatian tersebut misalnya tampak pada pemikiran atau penafsiran Abd. Rauf terhadap masalah teologi dan masalah social (kepemimpinan perempuan). Dua masalah yang sangat urgen untuk di selesaikan.


DAFTAR PUSTAKA

A. Hasjmi, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Para Ratu, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).

Abd. Rauf Sinkel al-qur’an al-‘adhim wa bihamisyi Tarjuman ai-Maslafid. (Dar al-Fikr, 1990).

Abd. Rauf Sinkel, dalam kolofon Tarjuman al-Mustafid, edisi 1990).

‘Ala’ aWin ali bin Muhammad bin ibrahim al-Baghdadi, To/sir al-khazin al-Musamma Lubab al-Ta’wil fi Ma’ati al-Tanril, (Bdmt: Dar af-Fikr, 1988).

Anthony H. Johns, ‘Quranic Exegesis in the Malay World: In search of a Profile” dalam Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an. Andrew Ripptn (ed.), Oxford. Clareddon Press, 1988.

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nasanlara Abad XVlll, Bandung: Mtzan, 1999.

Howard M. Federsptel, Popular Indonesia Literature of Qur’an, diindonesiakan menjadi Kajian at-Qur’an di Indonesia, oleh tajul arifin, Bandung. Mizan, 1996.

Indal Abrar, “Potret Kronologis Tafsir Indonesia” Dalam Esensia Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin,. Fakuhas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 3. No. 2. 2002.

Kamus BesarBahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988).

Karel  Steenbrink, Beberapa Aspek lentang Islam di Indonesia abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).

Nashiruddm Baidan, “Pribumisasi (Pesan) Qur’an”, makalah disampaikan dalam seminar HMJ TH IAIN Sunan Kalijaga yogyakarta, tanggal 25 Mei 2000.

Oman Fathurrahman, Tanbihul Masyi: Mtnyoal Wahdaiul Wujud, Kasus Abd. Rauf sinkel pada Abad ke-17, (Bandung: Mizan, 1999).

P. Ridddl, ‘Tafstr KJasik di Indonesia (StudJ tentang tarjuman al-Mustafid karya Abdurrauf Sinkily)” dalam Mimbar Agama dan Budaya, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, Vol XVII, No 2, 2000).

P. Voerhoove, “Abd. Rauf Sinkel” dalam Encyclopedi of Islam. New edition. Leiden: E.J. Brill, 1986.

Peter Riddefl. “Earliest Quranic Exegetical Activity in the Malay-Speaking States*, dahun majalah Archipel, 1989, him. 109.

Roolvink, R., “Indonesian Literature” dalam Encyclopedia of Islam. (Leiden: E. J. BriO, Vol III, 1986).

Snouck Hurgronje, Aceh. Rakyal dan adapt Istiadainya, terj. Sutan Mahnun, jilid II, (Jakarta: INIS, t.th).

Team penults IAIN syarif Hidayatullah, Eiisiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992).

V. I. Braginsky, Yang Indah. herfaedah dan Kamal, Sejarah Sastra Melayu dari Abad 7-19, Jakarta: INIS, 1998.

M. Yunan YusuC “Karakteristik   Taftir al-Qur^an di Indonesia abad ke XX”, dalam jurnal Uliimul Qur’an. Vol, III, No 4 Th. 1992.

Martin Van Bruissen, ” Kitab Kuning, Bufcu-buku Berhuruf Arab yang di pakai di linngkungan Pesantren”, dalam Kifab Kuning, Pesantern dan Tarekal: Tradisi-lradisi hlam di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1999)

Mawardi. al-ahkam al-xtilihaniywh, (Beirut: Dar-al-Fikr, t.th).


[1] Istilah tafsir Indonesia sendiri merupakan ungkapan yang masih banyak diperdebatkan. Sebagian kalangan menganggap kosa kata Indonesia tidak diperlukan, sebab tafsir sebagai aktifitas penulisan dengan sendirinya tidak menuntut adanya keterlibatan penulisnya secara pribadi. Dalam situasi demikian maka latar belakang dan kondisi ketika dia menulis merupakan unsur penting yang tidak dapat dipisahkan. Sebagian yang lain mengatakan kosa kata Indonesia merupakan hal penting. Hal ini dipakai untuk membedakan antara tafsir Indonesia. Malaysia, Arab dan seterusnya. Kendati demikian. dalam kalangan terakhir definisi tafsir Indonesia masih tidak terdapat kesatuan pendapat Sebagian mengaitkan dengan person, bahwa tafsir Indonesia adalah tafsir yang disusun oleh orang Indonesia. Ada yang mengaitkan dengan keduanya, bahwa ia adalah tafsir yang sejak awal ditulis dengan atau dalam bahasa Indonesia. Definisi ini tidak mempermasalahkan apakah itu ditulis oleh orang Indonesia atau bukan. Ada yang lebih mengaitkan dengan aspek wilayah, bahwa ia adalah tafsir yang disusun di wilayah Indonesia, lak penting apa bahasanya dari mana asalnya penulisnya. Perdebatan mengenai definisi ini disinggung secara singkat dalam Indal Abrar. “Potret Kronologis Tafsir Indonesia”. Dalam Esensia Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. 3. No. 2. 2002. yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, him 192. untuk kepentingan kajian ini definisi yang dipakai adalah yang lebih menitikberatkan pada person. Definisi ini dipandang akan sejalan dengan pandangan baik yang menolak maupun yang menerima pemakaian kata Indonesia. Bandingkan dengan Nashiruddin Baidan, “Pribumisasi (Pesan) Qur’an”, makalah disampaikan dalam seminar HMJ TH IAIN Sunan Kalijaga yogyakarta. tanggal 25 Mei 2000.

[2] Howard M. Federspiel, Popular Indonesia Literature of Qur’an, dialih bahasakan menjadi Kajian al-Qur’an di Indonesia, oleh Tajul Arifin. Bandung: Mizan, 1996.

[3] M. Yunan Yusuf. “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia abad ke XX”. dalam Jurnal Ulumul Qur’an. Vol. Ill, No. 4. Th 1992

[4] Ada banyak teori mengenai awal mula kedatangan Islam di wilayah ini Namun menurut Azra, teori yang menyebut abad 13 sebagai permulaan kedatangan Islam lebih dapat dipertanggungjawabkan. Diskusi lebih detail mengenai ini lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII, ( Bandung: Mizan, 1999), hlm. 2-18.

[5] Anthony H. Johns, “Qur’anic Exegesis in the Malay World: In search of a Profile” dalam Approaches to the History of the Interpretation of the Our’an, Andrew Rippin (ed.). Oxford Clareddon Press, 1988

[6] V. 1. Braginsky, Yang Indah. berfaedah dan Kamal, Sejarah Sastra Melayu dari Abad 7-19. Jakarta: IN1S, 1998, him. 275

[7] Oman Fathurrahman,. Tanbihul Masyi: Menyoal Wahdat al-wujud, Kasus Abd. Rauf Stnkel pada Abad ke-17, (Bandung: Mizan, 1999), hlm, 25.

[8] P Voerhoove, “Abd. Rauf Sinkel” dalam Encyclopedia of Islam, New edition. Leiden: E.J. Brill, 1986, Vol I, him. 88.

[9] Team   penulis     1AIN   Syarif Hidayatullah.   Ensiklopedi   Islam  Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), him. 31.

[10] Ibid, hlm. 31-33

[11] A Hasjmi. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Para Ratu, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), him. 115.

[12] Peter Riddell, “Earliest Qur’anic Exegctical Aaivity in the Malay-Speaking Slates”. dalam maja.te.k Archipel. 1989, him. 109.

[13] Abd. Rauf Sinkel, dalam kdofon Tarjuman al-Mvstaftd. edisi 1990. hlm. 610

[14] P. Riddell, Tafsir Klasik di Indonesia (Studi tenlang tarjumaa al-Mustafid karya Abdurrauf Sinkily)” dalam Mimbar Agama dan Budoya, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, Vol XVI!. No 2, 2000). him. 9

[15] Azyumardi \zia,jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara abad XWI dan X17II. (Bandung: Mizan. 1999), him. 179.

[16] Snouck Hurgronjc. Aceh, Rakyal dan adapt Istiadalnya, terj Sultan Maimun. jilid II. (Jakarta: 1NIS, t.th.). him 3-1

[17] Martin Van Bniissen. ” Kiiab Kumng, Buku-buku Berhuruf Arab yang di pakai di linngkungan Pesaniren”, dalam Kitab tuning. Pexantem dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan. 1999), him. 135.

[18] Snouck Hurgronje, Aceh II…., hlm. 18.

[19] Roolvink, R., “Indonesian Literature” dalam Encyclopedia of Islam, (Leiden: E. J Brill. Vol III. 1986). him  1230-1235

[20] Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia Ahad ke-XX”, dalam jumal Ulum al-Qur’an Vo;. 01. No 4. Ih. 1992.

[21] Abd. Rauf Sinkel, Tarjuman al-Mustafid’... .,hlm. 609-610.

[22] Ibid., hlm. 513

[23] Ibid, hlm 119

[24] Ibid, hlm. 563

[25] Ibid., hlm. 60

[26] Ibid, hlm. 348

[27] Ibid, hlm. 446

[28] Snouck Hurgronje. Aceh. Rakyat dan Adat Istiadatnya II. hlm. 14

[29] Konklusi yang dikemukakan oleh Rinkcs adalah. ..We find a translation of Baidlwi’s Our’anic commentary mentioned (by Snovck Hurgrortjtj. as well as a section of the tafsir al-Jalalain … A third commentary written by him is named a ‘Malay rendering of the Tarjuman al-Musiafid”. HTiich «-<k supplied *-iih addition bv one of his students. Sebagatmana dalam Pcicr Ridded. Tafsir Klasik di Indonesia …. 2000. him. 5.

[30] Abd. Rauf Sinkel, Tarjuman al-Mustafid.     him. 609

[31] Ibid., hlm. 661

[32] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama   ..him. 203-204

[33] Karel Sleenbrink. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia ahmike-19. (Jakarta Bulan Bintang. 1984), him  125-126

[34] Abd. Rauf Sinkel, Al-Qur’an al-‘adhim wa bihamisyi, Tarjuman al-Mustafid, (Beirut: Dar al-fikr, 1990), hlm. 610

[35] ‘Ala al-Din Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi, Tafsir al-Khazin al-Musamma Lubab al-Ta’wil fi Ma’an al-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), juz. 4. hlm 49

[36] Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakana Balai Pusiaka. I98S). him. 2-6

[37] Ibid., hlm. 513

[38] Ibid., hlm. 119

[39] Ibid., hlm. 563

[40] Ibid., hlm. 60

[41] Ibid., hlm. 348

[42] Ibid., hlm. 446

[43] Abd. Rauf Sinkel, Tarjuman al-Mustafid, hlm. 85

[44] Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t,th), hlm. 65

Tinggalkan komentar

Filed under Al-Qur'an - Tafsir

Tinggalkan komentar